MAS JOKO WI

Bukan karena saya itu temannya pak Joko Wi sehingga saya dianggap dolop atau Botoh atau Brokernya Pak joko Wi yang nantinya mendapatkan sesuatu darinya . Bukan juga karena sama sama dari UGM mentang mentang kemudian saya memuatkan tulisan ini ke Blog atau Media saya tanpa batas dan tanpa sensor ini, dan Sekali lagi Pak Joko Wi  nggak kenal saya meski saya mengenalnya , mudahnya pak Joko Wi  bukan sebagai teman main saya , teman partai saya karena sayapun dari dulu juga nggak ada di partai mana mana, tidak nyoblos mana mana karena pasti juga begitu pemimpinnya . Saya biasa saja seneng dengan orang kreatip karena dia baik dan sepertinya ini baik untuk orang lain atau migunani tumaraping liyan  maka saya muat ulang tulasan di kompasiana ini sebagai bacaan renungan yang siapa tahu berguna

Tertarik saya membaca sebuah tulisan pagi ini. Tulisan tersebut lahir dari tangan Kang Pepih Nugraha. Ia bercerita, mengupas-ulas tuntas tentang sosok fenomenal (mau tidak mau kita harus menyebutnya demikian) Jokowi. Tulisan sederhana namun bergizi tinggi Kang Pepih tersebut menyimpan banyak ruang untuk didiskusikan (maaf, bukan diperdebatkan). Dan ruang-ruang tersebut, bagi saya patut diisi untuk melengkapi tulisan bagus itu. Ini tulisannya: Kritiklah Jokowi….
Mempertanyakan tentang kebijakan Jokowi memang adalah keniscayaan bagi warga Jakarta yang notabene sudah memilih beliau. Menyoroti tindak-tanduknya adalah juga sebuah kewajaran untuk dilakukan, karena memang Jokowi bukan Tuhan. Ia hanya manusia biasa yang dipilih (atau kebetulan dipilih) untuk memimpin Jakarta. Jadi? Memberikan Jokowi kritikan adalah lumrah dan sah-sah saja. Ia memang harus dikritik. Pertanyaannya, siapa yang ‘berhak’ memberikan kritik itu? Lantas siapa selanjutnya yang punya hak menilai Jokowi berhasil atau tidak? Apakah DPRD? Apakah orang per orang? Apakah survey kiri kanan? Ataukah rakyat yang sudah memilihnya?
Kenapa saya bertanya demikian, biarlah dengan kesadaran tinggi kita bertanya pada nurani kita. Sudahkah pemimpin yang (maaf kata) tidak baik sama sekali, korup, dan selalu menistakan “amanat rakyat” kita kritisi melebihi apa yang sementara kita lakukan terhadap Jokowi saat ini? Sudahkah para pemimpin yang ‘busuk’ itu kita ‘adili’ melebihi cara kita mengadili orang yang belum tentu gagal tersebut? Jokowi adalah pemimpin yang baru muncul, meminjam istilah Kang Pepih, entah karena by designataukah by accident. Tapi kalau orang yang sudah sementara berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang dipimpinnya dengan gigih dan tulus kita kritik habis-habisan, maka adalah wajar dan fair enough bila pemimpin-pemimpin yang ‘busuk dalam tindakan’ dan ‘rusak dalam berpikir’ di negeri ini sesegera mungkin kita lemparkan ke dalam jeruji besi. Kalau tidak, maka ini akan menunjukkan bahwa masih tersisa kebuntuan dan kebutaan pada cara berpikir kita. Orang yang benar-benar berjuang demi kita, dihantam habis-habisan. Serempak, yang sudah membodohi dan menelantari kita, dibiarkan begitu saja.
Jokowi, menurut saya adalah pemimpin yang muncul by power of love-nya rakyat yang memilih dia. Dan juga power of love-nya dia terhadap rakyat yang dipimpinnya. Nah, kalau dua orang yang saling cinta dan saling mengasihi bertemu apa yang terjadi? Lengket bagaikan stamp to the envelope pastinya. Siapa yang dapat memisahkan mereka? No one. Ia terlahir Bukan karena by design dan bukan juga by accident.
Orang boleh memiliki pandangan apa saja tentang Jokowi. Ia bisa saja dianggap pemimpin yang takabur. Ia juga bisa dituduh mementingkan diri sendiri. Tapi toh pada akhirnya kenyataan di lapanganlah yang mesti berbicara. Ada puluhan program yang sudah jalan termasuk waduk pluit yang baru saja jadi itu. Sekarang, waduk di dekat tempat tinggal saya di seputaran Pulomas sudah akan dimulai pembangunannya. Ria Rio nama waduk itu. Saya sudah sempat lihat grand designnya, di lahan yang berhektar-hektar itu akan ada marinanya (taman laut), taman-taman indah, tempat jogging dan lainnya. Bisa jadi akan seperti echo park di Ancol.Itu segelintir saja, karena masih ada begitu banyak yang sudah dihasilkan Jokowi-Ahok bahkan pada saat belum setahun mereka memimpin. Apalagi yang kurang?
Pemimpin Luar Biasa Terlahir Karena Memiliki Pengaruh yang Luar Biasa
Kang Pepih menulis, bahwa dulunya ia beranggapan bahwa pemimpin lahir karena memiliki pengaruh luar biasa seperti raja dan keluarganya yang terlahir turun-temurun. Pernah juga terlintas di dalam pikiran Kang Pepih bahwa pemimpin itu lahir karena kekuatannya yang nyaris tanpa batas seperti apa yang ditunjukkan oleh Jenghis Khan atau Adolf Hitler. Atau juga pemimpin yang lahir karena kharismanya seperti Bung Karno dan Ayatullah Rahullah Khomeini. Kang Pepih kemudian menuliskan bahwa dalam pandangannya, semua anggapan tersebut akhirnya (harus) ambruk manakala seorang Jokowi tampil memimpin Jakarta. Ini yang ingin sekali saya bahas lebih lanjut.
Ketika Kang Pepih mengatakan bahwa Jokowi itu bukan siapa-siapa. Bahwa Jokowi bukanlah orang berpengaruh dan bukan orang kuat maka secara tidak sadar telah menisbikan ke-siapa-an dan ‘kekuatan’ seorang Jokowi. Justru karena Jokowi adalah seseorang yang memiliki kekuatan melimpah makanya ia menang. Saya tahu Kang Pepih hanya sekedar bermetafora dengan caranya yang unik, tapi enak juga untuk dibahas sih. [Tulisan sejenis dapat dilihat di sini: Ayat-ayat Marketing Jokowi-Ahok]
Jokowi adalah sosok inspiratif yang tahu menempatkan diri dan menempatkan hati. Itu adalah kekayaannya. Makanya jangan heran tatkala ia terpilih (bahasa saya: dengan gampangnya) diolehkarenakan power of love yang ia miliki, dan power of love yang rakyat berikan. Bukankah pemimpin yang luar biasa adalah pemimpin yang sebenar-benarnya berdiri untuk rakyat yang dipimpinnya? Mencintai rakyat yang dipimpinnya dengan sungguh dan tanpa embel-embel apapun? Lalu apa balasannya? Rakyat tentu akan semakin mencintai dan mendukung dirinya. Ia tidak memimpin karena faktor demi menebalkan kantongnya sendiri. Tidak pula demi membuncitkan perutnya sendiri. Ciri-ciri itu bukan milik Jokowi. Ia tidak memperkaya diri. Setidak-tidaknya sampai saat ini, dan besar harapan hal itu akan bertahan sampai kapanpun.
Bagaimana dengan pengaruh Jokowi? Apakah Jokowi bukan orang yang berpengaruh? Tunggu dulu. Sebelum dia menjadi gubernur DKI, ia ternyata sudah memberi pengaruh yang sangat besar. Ia sanggup memengaruhi pemilih Solo untuk memilih dirinya kembali secara mutlak. Bukan karena uang, tapi karena pengaruh seorang Jokowilah maka rakyat mau memilih dia. Sekarang, setelah ia jadi gubernur, apa pengaruh Jokowi? Sanggupkah ia menebarkan pengaruh? Tak disangka tak dinyana bahwa pengaruh Jokowi bahkan sudah sampai menusuk ‘ruang-ruang terdalam’ orang-orang yang bersebrangan dengan dirinya sekalipun. Lihat sajaJokowi’ effects yang ada di mana-mana. Tengok juga partai-partai yang rebutan ‘meminang’ dirinya, baik secara terang-terangan maupun yang masih malu-malu. Karena apa? Tentu saja karena pengaruh Jokowi. Jokowi itu punya pengaruh dan pengaruhnya sangat besar. Bahkan ada salah satu tulisan opini di Amerika yang pernah saya baca menempatkan Jokowi sebagai salah satu orang yang berpengaruh besar.
“…Jokowi dan Lagi-lagi Jokowi…”
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut kawan saya yang gemar mengikuti perkembangan berita tentang Jokowi dan Ahok. Saya bilang begini, “Kenapa? Apakah Anda tidak suka pemberitaan tentang Jokowi? Kalau iya, ya nggak usah dibaca tohmas…”. Ia terkekeh sembari berucap, “Bukan begitu, justru saya ingin mengawasi mereka kalau-kalau saja ada kesalahan yang mereka buat. Karena saya akan memberikan kritikan saya terpedas jika sampai itu terjadi”. Saya beranggapan bahwa ia menyukai kepemimpinan Jokowi-Ahok dengan cara dia. Cerdas juga. Mencari kesalahan supaya bisa dikritisi. Bagi saya itu harus, tapi ya kalau belum ditemukan tidak lantas menjadikan kita bebas dan seenak-enaknya mengkritisi bahkan untuk sesuatu yang sudah baik jalannya dan tidak pantas dikritisi. Itu lebay namanya. Keterlaluan.
Jokowi Adalah Orang Miskin yang Berpengaruh
Saya teringat nasib seorang pemuda yang sangat miskin di Korea Selatan. Namanya adalah Lee Myung Bak. Ia harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Sepanjang hari harus mengisi perutnya dengan ampas gandum gratisan yang diberikan orang sekitar atau yang ia dapati entah dari manapun, untuk sekedar mengganjal perutnya. Setelah usianya bertambah, anak muda ini pun kemudian menjadi pengasong makanan murah dan es krim. Ia juga pernah menjadi buruh bangunan.
Nah, meskipun sangat miskin, ia belajar keras dan beruntung bisa diterima diUniversitas Korea. Pekerjaan sampingan semasa kuliah adalah sebagai tukang sapu jalan. Lulus kuliah ia bekerja di Hyundai, dan ternyata sukses berkarya di Hyundai.Pada tahun 2002 orang miskin dan tukang sapu ini akhirnya terpilih menjadi Walikota Soul. Pencapaian yang sungguh luar biasa. Puncaknya adalah pada tahun 2007 dimana Lee yang masa kecilnya sangat miskin itu berhasil menjadi orang nomor satu di Korea Selatan. Tukang sapu ini menjadi presiden. Benar-benar luar biasa.
Jokowi juga pernah merasakan hidup sebagai orang miskin. Ia pernah tinggal di bantaran sungai. Ia pernah pindah rumah ke sana dan ke mari. Ia juga pernah menjadi seorang tukang. Ya, ia menjadi tukan mebel, yang menurut ‘politisi kaya’ di Senayan adalah sebuah pekerjaan yang tidak layak menghantarkan Jokowi menjadi presiden. Orang itu lupa, Jokowi adalah orang miskin yang berpengaruh.
Jokowi memang bukanlah Lee Myung Bak. Tapi, mantan orang miskin itu sudah pernah menjadi walikota di Solo. Kini si tukang mebel itu sudah menjadi gubernur Jakarta, etalasenya Indonesia. Apakah ia akan bernasib sama dengan Lee yakni ‘dipaksa’ dan ‘terpaksa’ menjadi orang nomor satu di negeri ini? Belum ada yang dapat memastikan. Saya tidak hendak membahas berbagai kemungkinan itu, karena bukan hal seperti itu tujuan penulisan ini.
Akhirnya, kini saya mesti semakin menyadarkan diri saya, bahwa Jokowi itu memang sosok fenomenal. Tindak tanduknya sepertinya akan terus ‘diawasi’. Ia menjadi tokoh pemimpin yang inspirasional, merakyat, dan layak dipuji. Walau memang, mencermati himbauan Kang Pepih, jangan sampai terlalu dipuja-puji. Tapi memang ia pantas dipuji kok. Dikritisi juga mestinya. Tentu. dengan cara dan arah yang benar.
Kunci dari tulisan Kang Pepih menurut saya ada di sini….[”Kembali ke pertanyaan yang sulit terjawab sampai sekarang; mengapa Jokowi demikian populer di mata rakyat padahal seperti saya bilang tadi dia “tidak ngapa-ngapain” kecuali coba menata Jakarta semampu yang ia bisa sebagai tugas utamanya? Saya melihat satu hal yang mungkin agak sedikit dicemoohkan kalau saya mengungkapkannya, yakniKETULUSAN dan AMANAH. Ah, itu sih jawaban kuno. Mungkin benar, tulus dan amanah. Tentu saja ketulusan dan amanah khas yang dimiliki seorang Jokowi, yang nyaris tidak ada pada pemimpin lainnya yang lebih sering mengedepankan kamuflase, memakai topeng keberhasilan, yang dalam bahasa politiknya disebut pencitraan itu.] Itu. Dengan sendirinya terjawab bahwa Jokowi memang ada ‘siapa-siapa’ dan punya pengaruh besar. Itu.

He is governs us with love, and indeed he will gain love back from us. —Michael Sendow—