Kebanyakan orang hanya mengenal dua perasaan dalam hidupnya, yaitu kenikmatan dan kepedihan. Orang mencari kebahagiaan dengan cara menghindari kepedihan. Nalar yang digunakan adalah bahwa kalau kepedihan dapat dibuang maka akan datang kebahagiaan.
Kemiskinan itu adalah kepedihan. Untuk membuang kepedihan karena kemiskinan maka orang berjoang untuk tidak miskin. Seluruh hidupnya dikerahkan untuk mencari uang agar tidak miskin. Apakah setelah tidak miskin atau kaya maka dia akan bahagia?
Tidak memiliki anak itu adalah kepedihan. Seorang isteri dan mungkin juga bersama suaminya pergi ke sana kemari dan dengan segala cara berusaha untuk memiliki anak. Setelah anak lahir maka bahagialah mereka. Tetapi apakah mereka tetap bahagia pada waktu anaknya sakit atau bahkan meninggal dunia?
Ingin memiliki kekuasaan juga merupakan kepedihan. Dengan berbagai cara seseorang berusaha mendapatkan kekuasaan. Dia ingin menduduki jabatan tertentu agar berkuasa. Untuk berkuasa seseorang tidak segan untuk meniadakan kekuasaan orang lain dengan cara perang atau membunuh, memfitnah serta upaya-upaya lain yang dipandang perlu. Apakah setelah berkuasa dia bahagia?
Tidak memiliki sesutu tidak menjadikan orang menderita kepedihan. Yang mendatangkan kepedihan adalah keinginan untuk memiliki sesuatu. Orang miskin tidak perlu menderita kepedihan selama dia tidak menghendaki kaya. Orang tidak mempunyai anak tidak perlu merasakan kepedihan selama dia tidak menghendaki untuk memiliki anak. Orang tidak berkuasa juga tidak perlu menderita kepedihan selama tidak memburu kekuasaan.
Apakah dengan demikian kita tidak perlu menghendaki sesuatu? Apakah kalau saya miskin maka biarkan saja miskin. Kalau tidak punya anak ya diterima saja. Apakah dengan bersikap seperti itu maka hidup tidak menjadi hampa karena tanpa kehendak, tanpa upaya dan hanya menerima saja apa keadaan yang ada? Lalu apa artinya hidup?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas merupakan masalah yang terus menerus diketengahkan orang, bahkan menjadi perdebatan sepanjang masa. Orang mencoba menjawab dengan caranya masing-masing. Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa kalau orang menghendaki bahagia, maka hiduplah dengan ‘pasrah’ berserah diri pada Tuhan. Orang Jawa menganjurkan agar hidup dengan ‘nrimo ing pandum’ atau menerima apa yang ada (diberikan oleh Tuhan).
Sekelompok orang lain mengatakan bahwa kita tidak boleh pasrah dan nrimo atau menerima nasib. Kita harus berusaha mengubah nasib. Yang miskin harus berusaha agar tidak miskin. Yang tidak punya anak harus berusaha mempunyai anak. Yang tidak berkuasa harus berusaha memiliki kekuasaan agar berdaya. Pokoknya harus berusaha.
Sekarang saya ingin mempersoalkan kedua sikap tersebut di atas, yaitu sikap pasrah dan sikap harus berusaha. Apakah dengan pasrah tetap miskin orang dapat hidup. Apakah dia tidak memerlukan uang untuk makan, berpakaian, menyekolahkan anak dan sebagainya. Apakah pada suatu waktu dan keadaan orang miskin tidak menjadi beban orang lain atau menyusahkan oang lain dengan meminta tolong? Kalau tidak ditolong dia bersama keluarganya akan mati kelaparan atau mati kedinginan dan kepanasan karena tidak memiliki rumah. Dengan demikian perlu dipertanyakan, apa gunanya dia hidup kalau hanya untuk mati?
Baik, kita terima pendapat yang mengatakan bahwa orang harus berusaha. Jadi yang miskin harus berusaha untuk mencari nafkah yang cukup untuk makan, untuk berpakaian, untuk memiliki rumah tempat dia berlindung. Pertanyaannya adalah, apakah usaha yang dia lakukan akan dapat menghasilkan uang untuk itu semua? Usaha yang bagaimana yang akan dapat memenuhi kebutuhan?
Seseorang miskin tidak tanpa sebab. Dia miskin karena tidak berpendidikan cukup. Mungkin juga dia berpendidikan cukup tetapi malas. Atau dia tidak malas dan berpendidikan cukup tetapi tidak jujur atau berwatak melawan sehingga orang tidak mau memberi pekerjaan. Kalau orang ini tetap dalam keadaan atau sikap watak seperti itu, apakah usaha yang dia lakukan akan berhasil? Artinya apakah dia akan dapat mengubah keadaan?
Apa yang saya permasalahkan di atas merupakan permasalahan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana saya utarakan di atas, orang hidup mencari kebahagiaan dengan cara membuang kepedihan. Dengan lain perkataan orang beranggapan bahwa dia akan bahagia kalau kepedihan dapat dibuang atau dihilangkan. Kemiskinan adalah kepedihan. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang dicintai adalah kepedihan, dan sebaginya.
Kehidupan manusia pada umumnya berkisar pada keinginan untuk ‘memiliki’ atau ‘to have’. Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki uang sehigga dia berusaha untuk memiliki uang. Orang yang tidak mempunyai anak berusaha mendapatkan anak agar memiliki anak. Orang yang kehilangan sesuatu atau seseorang berarti dia kehilangan yang telah dimiliki.
Yang kemudian perlu dipertanyakan adalah, apakah setelah orang mendapat apa yang ingin dia miliki maka dia akan bahagia? Kenyataan tidak menunjukkan demikian karena orang kaya ada yang bunuh diri atau setidaknya hidup dalam keadaan tertekan. Demikian juga orang yang mempunyai anak atau mempunyai kekuasaan. Kita juga melihat banyak selebriti yang dipuja masyarakat, orang kaya dan pejabat yang berkuasa terjebak dalam pengaruh minuman keras, narkotika dan obat-obat terlarang lain.
Anda sekarang pasti bertanya lalu saya harus bagaimana? Nah, inilah yang harus anda ketahui. Pada umumnya orang tidak mengetahui perbedaan antara kebahgiaan dengan kenikmatan. Yang selalu dicari dan dikejar adalah kenikmatan. Orang beranggapan bahwa dengan ‘memiliki’ maka dia akan bahagia, padahal dengan memiliki orang hanya akan nikmat.
Kenikmatan yang diperoleh dengan cara ‘memiliki’ ini saya namakan ‘kenikmatan duniawi’ atau ada juga ada yang menyebut sebagai ‘kenikmatan fisik’ atau ‘kebahagian fisik’. Kenikmatan duniawi merupakan kebutuhan untuk melepaskan diri manusia dari kepedihan dalam kehidupan.
Sebagai kebutuhan, kenikmatan duniawi tidak terbatas pada jumlah dan kualitas. Dengan lain perkataan, kenikmatan duniawi itu subjektif karena kebutuhan orang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki uang dalam jumlah tertentu sudah merasa tercukupi kebutuhannya dan dia nikmat. Orang yang lain merasa harus memiliki uang seribu atau satu juta lebih banyak agar nikmat.
Kenikmatan duniawi sifatnya pasang surut, up and down karena mengikuti hukum alam. Hukum alam mengatakan bahwa sesuatu itu hadir di alam dengan berpasangan, yaitu dua hal yang berlawanan sifatnya. Ada positip ada negatip. Ada tinggi ada rendah. Ada baik ada buruk. Ada jantan ada betina, dan seterusnya. Jadi ada kenikmatan dan ada ketidaknikmatan.
Sifat alam kedua adalah selalu berubah. Perubahan ini berdasarkan waktu. Keadaan atau kondisi berubah berdasarkan waktu. Perubahan dapat terjadi secara pelan dalam jangka waktu lama atau secara evolusi. Tetapi keadaan dapat juga berubah dengan serta merta atau instant dalam waktu lebih singkat. Siang dan malam sebagai akibat dari putaran bumi pada porosinya adalah berlangsung dalam waktu 12 jam. Tetapi bumi mengelilingi matahari dalam waktu 12 bulan atau satu tahun. Batubara yang mengendap di lapisan bumi terluar berasal dari tetumbuhan yang mengeras dalam waktu jutaan tahun.
Kenikmatan duniawi yang mengikuti hukum alam juga mengalami perubahan alias tidak lenggeng. Kenikmatan duniawi dapat berubah intensitasnya menjadi kurang nikmat, atau hilang sama sekali menjadi ketidaknikmatan. Orang kaya yang tadinya nikmat dapat bangkrut dan dia menjadi tidak nikmat lagi. Orang yang nikmat mempunyai anak atau isteri idaman, kenikmatannya dapat berkurang karena anak atau isterinya sakit atau berkelakuan yang bertentangan dengan idaman. Kalau anak atau isteri idaman tadi meninggal, maka kenikmatan akan sirna sama sekali. Demikian juga dengan jabatan dan kekuasaan.
Kesimpulannya adalah bahwa kebahagiaan itu berbeda dengan kenikmatan. Yang kita kejar dengan label ‘berupaya’ itu sebenarnya adalah kenikmatan duniawi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan agar kita terbebas dari kepedihan hidup.
Apakah dengan demikian kita tidak perlu mengejar kenikmatan duniawi? Oh, kenikmatan duniawi itu perlu tetapi harus disadari bahwa kenikmatan ini bukan kebahagiaan yang anda cari atau dambakan. Juga perlu disadari adalah bahwa kenikmatan duniawi itu tidak permanen atau langgeng, tetapi dapat berubah atau hilang samasekali.
Kenikmatan duniawi juga dapat disebut sebagai kebahagiaan semu yang tidak menjadi persyaratan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Orang telah memiliki kenikmatan duniawi kemungkinan berpeluang untuk mencapai kebahagiaan hakiki dengan lebih dekat atau lebih cepat atau lebih mudah, tetapi hal itu bukan jaminan.
Selain kebutuhan materi atau duniawi, orang juga mempunyai kebutuhan emosional. Orang membutuhkan kasih sayang, membutuhkan dihormati, dipuji dan diakui keberadaannya. Kebutuhan emosional juga diburu oleh manusia untuk melepaskan diri dari kepedihan dengan cara menciptakan ‘kenikmatan’, yaitu kenikmatan emosional’.
Orang sering beranggapan bahwa ‘kenikmatan emosional’ sebagai kebahagiaan yang hakiki. Sebenarnya ‘kenikmatan emosional’ juga merupakan kebahagiaan semu karena masih tergantung pada kebutuhan dalam dirinya. Pemenuhan kebutuhan emosional ini sangat tergantung pada orang lain atau faktor luar. Dengan demikian maka ‘kenikmatan emosional’ harus diburu, dikejar atau diupayakan.
Seperti juga kenikmatan duniawi, orang memburu kenikmatan emosional untuk melepaskan diri dari kepedihan. Orang merasakan kepedihan kalau kehadirannya tidak mendapat pengakuan atau tidak dihormati. Orang juga merasakan kepedihan kalau tidak mendapat kasih sayang.
Bagi kebanyakan orang, kebutuhan emosional menjadi sangat penting. Banyak orang yang ingin disanjung karena merasa cantik, ingin diakui bahwa dia pintar atau kaya, dihormati karena dia berkuasa, ingin dicintai atau disayang, dan sebagainya. Yang sering dilupakan orang adalah bahwa kenikmatan emosional semacam itu hanya dapat diperoleh dari orang lain. Artinya kenikmatan emosional tergantung sepenuhnya pada orang lain. Dan kalau orang lain tidak memberikan kenikmatan tersebut maka orang akan menderita kepedihan.
Apakah kita dapat berharap orang lain akan memberikan atau memenuhi kebutuhan emosional tersebut dengan sukarela?. Tentu tidak. Kalau kita menggantungkan kehidupan kita pada orang lain, maka kita harus menyadari bahwa orang lain itu juga mempunyai kebutuhan atau kepentingan yang sama. Dengan lain perkataan, orang lain hanya akan memenuhi kebutuhan kita kalau kita dapat memenuhi kebutuhannya atau orang lain tadi merasa kebutuhannya terpenuhi oleh kita.
Untuk mendapatkan kenikmatan emosional orang dapat melakukan apa saja. Seseorang yang ingin diakui kekuasaannya atau ingin dihormati dapat melakukan pemaksaan dengan kekerasan. Untuk mendapat kasih sayang orang bersedia melakukan segalanya atau memberikan segalanya.
Selama hidupnya orang mengenjar kenikmatan duniawi dan kenikmatan emosional dengan beranggapan keduanya adalah kebahagiaan yang hakiki. Sebagian orang gagal mendapatkan kedua kenikmatan tersebut. Sebagian lagi berhasil mendapatkannya. Kelompok ketiga berhasil mendapatkan, tetapi kemudian terlepas lagi.
Yang gagal mendapatkan kedua kenikmatan tersebut tetap hidup dalam kepedihan sambil meratapi nasibnya. Kelompok kedua yang berhasil mendapatkan, ternyata menyadari bahwa bukan itu yang mereka cari dan inginkan. Mereka kembali merasakan kepedihan. Kelompok ke tiga, setelah kehilangan mereka akan kembali dalam kepedihan.
Perburuan mencari kebahagiaan hakiki tidak pernah berhenti. Memburu dan mencari, menemukan kemudian kecewa, kegembiraan dan kepedihan datang dan pergi saling bergantian. Yang mereka dapatkan tidak lain hanyalah kebahagiaan semu berupa kenikmatan duniawi dan kenikmatan emosional yang tidak langgeng. Akhirnya habislah waktu kehidupan dan manusia belum juga menemukan yang dicari. Di mana gerangan kebahagiaan hakiki berada?
Apakah orang mengetahui apa yang dicari? Apakah mereka pernah merasakan kebahagiaan yang hakiki? Saya yakin bahwa sebagian besar orang tidak tahu dan tidak pernah merasakan kebahagiaan hakiki. Kalau semua orang pernah merasakan kebahagiaan hakiki maka dunia ini tidak akan carut marut seperti sekarang. Kalau semua orang mengalami kebahagiaan hakiki, maka di dunia tidak akan ada kebencian, kekerasan dan peperangan. Orang tidak akan saling menyakiti, saling mencurangi dan saling membunuh.
Lalu kemana kita harus menemukan kebahagiaan hakiki itu? Kebahagiaan hakiki tidak dapat dicari di manapun karena sesungguhnya sudah berada dalam diri kita masing-masing. Itulah sebabnya semua orang berpotensi untuk berbahagia. Hanya saja karena kita tidak mengetahui maka kita mencarinya dan bahkan mengejarnya di mana-mana di luar diri kita. Tanpa kita sadari bahwa yang kita kejar itu adalah kenikmatan duniawi dan kenikmatan emosional yang merupakan kebahagiaan semu.
Kebahagiaan hakiki pada dasarnya merupakan nikmat karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang. Dengan lain perkataan, kebahagiaan adalah salah satu unsur dalam diri manusia. Dalam bahasa teknis dapat dikatakan bahwa kebahagiaan merupakan design factor manusia. Sama dengan rasa manis yang menjadi design faktor gula. Kalau tidak manis maka itu bukanlah gula.
Dalam hal diri kita berada dalam ‘keadaan’ tertentu, maka potensi kebahagiaan ini akan muncul ke permukaan sehingga dapat kita rasakan. Kalau ‘keadaan’ tersebut kita pertahankan maka kebahagiaan akan terus menerus berada di permukaan sehingga kita juga terus menerus merasakan bahagia.
‘Keadaan’ yang saya maksud di sini dapat tercipta oleh ‘sikap’ hidup kita. Apakah kebahagiaan akan muncul ke permukaan, sangatlah tergantung pada bagaimana kita bersikap terhadap hidup. Dengan lain perkataan bagaimana kita bersikap merupakan kunci dari kebahagiaan dalam kehidupan.
Seseorang yang berada dalam kemiskinan dapat bahagia, orang yang tidak memiliki anak dapat bahagia, orang yang tidak berkuasa atau tidak menduduki jabatan penting juga dapat bahagia. Orang sakitpun dapat bahagia. Semua itu tergantung pada bagaimana kita menyikapi keadaan hidup kita.
Selama sikap hidup kita tidak berubah, maka kebahagiaan akan tetap berada pada diri kita. Artinya kita akan tetap bahagia bagaimanapun keadaan yang kita alami dan apapun yang kita miliki.
Bagaimanakah rasanya kebahagiaan itu? Saya rasa tidak ada pakar atau ahli yang dapat mendifinisikan rasa bahagia itu. Yang dapat didifinisikan adalah ‘rasa tidak bahagia’. Orang bahkan mengatakan bahwa ‘rasa bahagia’ itu tidak ada. Yang ada adalah ‘rasa tidak bahagia’.
Kalau anda merasa kecewa, sedih, tegang, bingung, panik, takut, tidak sabaran atau putus asa, maka anda ‘merasa tidak bahagia’. Kalau semua yang anda rasakan itu sirna atau hilang, maka anda merasakan sesuatu yang lain. Itulah ‘rasa bahagia’. Jadi untuk ‘merasa bahagia’ maka anda harus berusaha tidak kecewa, tidak sedih, tidak tegang, tidak bingung, tidak panik, tidak takut, dan tidak putus asa serta sabar. Atau lebih baik adalah kalau anda menghindarkan diri dari semua itu. Artinya kalau anda ‘kebal’ dari semua rasa yang saya sebutkan di atas, maka anda akan terus menerus merasa bahagia.
Mudah dikatakan tetapi tidak mudah dilakukan, apalagi dicapai. Dalam kehidupan sehari-hari orang bahkan tidak mengetahui atau tidak menyadari apa yang saya uraikan di atas. Itulah sebabnya saya menulis masalah ini dengan tujuan untk berbagi dengan anda sekalian.
Saya akan berhenti sampai di sini. Tentu anda merasa penasaran dengan masalah bagaimana harus bersikap dalam hidup ini agar anda dapat ‘merasa bahagia’. Anda akan bertanya, bagaimana saya harus bersikap dalam hidup saya agar kebal dari rasa kecewa dan sebagainya tadi?
Sampai disini saya minta anda juga berhenti untuk merenungkan apa yang selama ini anda lakukan. Yang harus anda ketahui sampai di sini adalah:
- Apa yang anda kejar selama ini bukanlah kebahagiaan yang hakiki, tetapi adalah kenikmatan duniawi dan kenikmatan emosional.
- Kedua kemikmatan itu anda kejar karena anda ingin menghilangkan kepedihan.
- Anda mengejar kenikmatan duniawi karena anda berpikir bahwa kepedihan yang anda rasakan disebabkan karena anda tidak memiliki sesuatu yang orang lain miliki. Anda melihat bahwa orang lain memiliki uang, anak, jabatan dan kekuasaan, sedang anda tidak memiliki semua itu, maka anda merasakan kepedihan.
- Kenikmatan duniawi dan kenikmatan emosional itu perlu tetapi sadarilah bahwa kehadirannya tidak langgeng, dapat berkurang dan dapat hilang samasekali. Dengan lain perkataan, kalau anda mengejar keduanya sebagai tujuan hidup maka pada waktu kenikmatan tersebut hilang maka anda akan merasakan kepedihan kembali.
- Rasa bahagia itu ada pada diri anda sendiri. Untuk ‘merasa bahgia’ tidak memerlukan persyaratan kenikmatan duniawi atau kenikmatan emosional. Hanya perlu sikap hidup yang benar dan tepat.
Mau tahu bagaimana harus bersikap dalam hidup agar tetap bahagia?
Kembalilah pada inti sejatining ngaurip, yaitu ‘eling land waspada’ dengan menyadari bahwa misi hidup ini adalah untuk ‘memayu hayuning bawana’, yakni memakmurkan bumi dan membahagiakan sesama manusia. Begitu anda melakukan sesuatu dalam rangka misi hidup, bagaimanapun kecilnya, maka anda akan menemukan kebahagiaan. Supaya rasa bahagia terus menerus anda dapatkan, maka jangan berhenti melakukan apapun dalam rangka misi hidup tadi.
Kurang jelas? Kebahagiaan akan terus menerus anda rasakan kalau anda selalu bersikap memberi dan bukan mengambil apa lagi merebut. Hidup adalah untuk memberi. Memberi artinya memenuhi kebutuhan orang lain bukan menyenangkan orang lain. Setiap orang dapat dipastikan mempunyai sesuatu yang dibutuhkan orang lain.
Untuk memberi anda harus bersikap perduli kepada sesamanya. Bersikap perduli membuka pintu kebahagiaan. Pintu terbuka dan anda mesuk ke dalam kebahagiaan setelah anda memberi.
Misi hidup itu diamanahkan oleh Allah yang menciptakan hidup dan kehidupan bagi manusia. Kalau anda melakukan segala sesuatu dalam kerangka misi Allah maka anda pasti bahagia, karena Allah melihat anda sebagai orang yang beriman dan bertaqwa: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu adalah kebahagiaan” (surat An Na’ba ayat 31).
Pemeluk agama Islam diwajibkan mengucapkan ‘Bismillah’ setiap kali akan melakukan suatu kegiatan. Kata ‘bismillah’ artinya ‘atas nama Allah’. Kalau anda mengucapkan kata basmalah itu artinya anda ‘melaporkan’ kepada Allah bahwa apa yang akan anda lakukan itu dengan niat untuk melaksanakan misi kholifah. Dengan demikian anda akan mendapatkan restu, kemudahan, petunjuk, kekuatan dan juga sarana untuk melaksanakannya. Hasilnya anda menjadi bahagia.
Ada nasihat untuk anda dalam menjalankan misi Allah sbb:
· Langkah pertama: perhatikan kebutuhan orang lain (artinya anda harus perduli).
· Langkah kedua: (kalau anda sudah mengetahui kebutuhan orang lain tadi), maka berniatlah untuk memenuhi kebutuhan orang lain tadi (artinya anda berniat menjalankan misi Allah dan membuat komitmen).
· Langkah ketiga, berupayalah memenuhi niat anda tadi.
Nasihat di atas bukan dari saya atau pakar, tetapi dari Nabi Besar Muhammad saw. Jadi dapat dijamin kebenarannya. Tinggal kita pelajari maknanya atau hikmahnya bagi kita.
Harap anda perhatikan langkah ketiga, yaitu “berupayalah memenuhi niatmu”. Langkah ini merupakan komitmen. Berupaya memenuhi komitmen sesuai dengan misi manusia yang diamanahkan Allah juga sering disebut sebagai ‘berupaya di jalan Allah’. Anda tidak perlu ragu apakah anda akan mampu dan berhasil dalam upaya yang anda lakukan. Selama upaya tersebut anda lakukan ‘di jalan Allah’ (yaitu memenuhi kebutuhan orang lain, maka pasti berhasil. Mengapa?
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang hebat (guna dapat menjalankan misi) dengan segala kemampuan yang tidak terbatas macam dan kapasitasnya. Semua kemampuan, kekuataan dan kehebatan tersebut akan muncul dengan sendirinya selama anda memenuhi komitmen di jalan Allah.
Sekarang mungkin anda memahami kata-kata yang sering dinasihatkan kepada kita, yaitu “Lakukan semua itu dengan ikhlas”. Dengan ikhlas artinya melakukan sesuatu di jalan Allah tadi (suatu upaya memenuhi kebutuhan orang lain dalam rangka tiga langkah tersebut di atas).
Nasihat Nabi yang tiga langkah di atas bukan sekedar nasihat untuk ibadah spiritual, tetapi berlaku secara universil, termasuk dalam bisnis. Kalau anda mau membuka restauran maka anda harus melakukan survey pasar untuk mengetahui ‘kebutuhan’ konsumen. Alangkah bodohnya kalau anda membuka restauran sate daging babi di kampung Kauman yang semua warganya beragama Islam.
Kalau dari survey pasar sudah diketahui kebutuhan konsumen, maka anda mengambil keputusan mau bisnis apa dan dengan cara bagaimana. Setelah itu barulah anda berusaha membangun pabrik.
Bagaimana kalau saya tidak mempunyai apa-apa uantuk diberikan, apakah dengan begitu saya tidak akan pernah bahagia? Semua orang adalah orang kaya yang memiliki banyak hal untuk diberikan karena kebutuhan orang itu macam-macam. Contohnya:
Orang kaya raya dan seorang pejabat tinggi seperti raja dan presiden membutuhkan seseorang untuk mau mendengar keluh kesahnya. Orang yang sedang sakit membutuhkan seseorang untuk memberi semangat hidup. Orang yang lagi sedih perlu didampingi agar tidak putus asa.
Memenuhi kebutuhan orang lain berarti memberi dan memberi itu tidak selalu langsung. Kalau anda berjalan dan melihat ada paku, maka ambillah paku itu dan buang ke tempat yang aman. Kalau niat anda mengambil paku tadi adalah agar orang lain tidak celaka karena paku itu, maka anda akan bahagia. Jadi berbuat sesuatu agar anda bahagia itu tidak perlu ada orang yang tahu.
Kalau anda seorang pengusaha, tidak bararti anda tidak dapat bahagia. Demikian juga kalau anda seorang pejabat atau penguasa. Pokoknya selama anda menjalankan tugas atau pekerjaan anda “di jalan Allah” (yaitu menjalankan misi Allah untuk memakmurkan bumi dan membahagiakan orang lain), maka anda akan bahagia.
Itulah makna sejatining ngaurip, hidup sejati.