Pak Sastro adalah petani yang memiliki tanah 10,000 M2 atau satu hektar dari warisan orang tuanya. Sejak dari usia muda pak Sastro sudah bertani mengikuti ayahnya menggarap sawah yang satu hektar tadi. Pada waktu itu sudah menjadi tradisi bagi orang muda untuk bekerja keras sebagai petani. Profesi bertani bukan pilihan tetapi keharusan. Mau jadi apa lagi kalau tidak mau bertani. Pada jaman pak Sastro muda dulu, meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi orang desa belum menganggap sekolah itu penting. Seluruh kehidupan masih berfokus pada sawah, apalagi kalau sawahnya seluas satu hektar.
Pak Sastro adalah petani yang tergolong berhasil karena selain memiliki tanah luas, dia adalah pekerja keras, tidak malas dan mengerti betul seluk beluk pertanian. Dia tahu cara yang baik mengolah tanah, memilih benih yang baik, cara mengairi lahan dan sebagainya. Selain itu Sastro muda juga rajin menabung sehingga dapat memiliki rumah sendiri yang memadai, memiliki ternak cukup banyak dan mempunyai simpanan emas. Pak Sastro juga termasuk orang baik, artinya tidak puyai hobi Ma-Lima (main, madon, madat, maling dan mabuk). Dia termasuk orang yang lurus.
Waktu terus berjalan. Pak Sastro dengan bu Sastro yang hanya tamat sekolah dasar dikaruniai tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Dengan kemampuan finasial yang baik, pak Sastro mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus perguruan tinggi. Bahkan salah satu anak lelakinya dapat mencapai tingkat sarjana strata dua atau S2 yang diraih diluar negeri. Anak perempuannya menjadi akuntan dan satu anak lelaki lagi menjadi sarjana teknologi informasi.
Ketiga anak pak Sastro berprestasi baik dalam pendidikannya sehingga tidak sulit mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar. Sebagai orang tua dari masa lalu pak Sastro tidak memahami benar tuntutan jaman. Anak-anaknya lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh jamannya. Oleh karena itu anak-anak inilah yang menyampaikan kepada orang tuanya apa yang mereka butuhkan. Merekalah yang mempunyai keinginan meneruskan pendidikan setinggi mungkin. Pak Sastro hanya tut wuri handayani, apa yang anak inginkan dia mendukung. Pak Sastro hanya memberikan nasehat agar anak-anak bekerja keras dan menjadi yang terbaik pada pilihan hidupnya. Selain itu orang tua hanya dapat mendoakan.
Jer basuki mawa bea. Untuk pendidikan anak-anaknya pak Sastro menjual sebagian sawahnya dan juga simpanan emasnya. Selain itu pak Sastro tetap bertani dan beternak sehingga tetap mempunyai pendapatan yang cukup untuk kehidupan sehari-hari. Pak Sastro tahu benar bahwa anak-anaknya tidak akan terjun ke sawah untuk bertani. Tidak mungkin lagi dia meminta anak-anaknya untuk melanjutkan profesi tani yang dia geluti sepanjang hidupnya. Jaman sudah berubah, tidak sama lagi dengan pada waktu dia harus bekerja keras di sawah dengan ayahnya dulu.
Ketiga anak pak Sastro mendapat pekerjaan dengan gaji dan karier yang baik di Jakarta. Mereka bekerja di perusahaan besar yang mempunyai jangkauan internasional. Anak-anak pak Sastro adalah orang-orang sibuk dan bergaji besar. Mereka sudah memiliki rumah bagus di wilayah elit Jakarta, naik mobil lumayan bagus dan anak-anak mereka dapat bersekolah di sekolah unggulan yang mahal.
Kehidupan anak-anak pak Sastro di Jakarta dapat dikatakan telah mapan dan sibuk. Mereka hanya sempat pulang ke desa setiap liburan hari raya Idul Fitrie sambil menengok orang tuanya. Dengan meningkatnya karier, kesibukanpun terus bertambah. Tidak setiap tahun mereka dapat pulang. Oleh karena itu pak Sastro dan bu Sastro yang sering diminta datang ke Jakarta sambil menengok cucu.
Dengan usia yang sudah lanjut dan karena sering ke Jakarta maka pak Sastro menyerahkan sawah yang tersisa untuk digarap oleh buruh penggarap dengan cara bagi hasil (digaduhkan). Waktu terus berjalan dan usia pak dan bu Sastro juga terus bertambah. Pada akhirnya pak dan bu Sastro harus meninggalkan dunia fana ini untuk istirahat selamanya. Pak Sastro meninggal dengan tenang dan rasa puas dengan kehidupan yang ditinggalkan.
Setelah bapak dan ibunya meninggal, maka anak-naka pas Sastro tidak mempunyai kepentingan lagi di desanya. Mereka sudah mempunyai dunia sendiri di Jakarta. Karena tidak mungkin lagi untuk mengurus, maka tanah pak Sastro dijual dan dibeli oleh orang kota.
Dari cerita riwayat pak Sastro di atas dapat disimpulkan bahwa desa telah kehilangan dua jenis asset, yaitu sumber daya manusia terdidik (anak-anak pak Sastro) dan sumber daya lahan pertanian (tanah pak Sastro di beli orang kota).
Bagaimana kalau banyak pak Sastro yang lain? Tentunya desa akan punah dan pertanian akan lenyap. Desa yang menjadi sumber kehidupan budaya tradisional dan menjadi sumber pangan akan lenyap. Desa-desa berubah menjadi tempat hunian dari berbagai manusia yang datang dari berbagai wilayah negara. Di sana tinggal banyak orang tetapi tidak ada kehidupan sosial maupun budaya.
Sekarang marilah kita simak cerita tentang pak Sumo. Pak Sumo tidak mendapat warisan tanah seluas tanah pak Sastro karena orang tuanya miskin. Tanah yang hanya sedikit itu tidak dapat menunjang kehidupan pak Sumo sekeluarga. Pak Sumo tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya nya sehingga mereka hanya tamatan SD dan satu orang yang tamat SMP.
Sewaktu pak Sumo dan bu Sumo meninggal mereka tidak meninggalkan warisan harta kepada anak-anaknya. Anak-anak pak Sumo yang hanya tamatan SD dan SMP harus hidup dengan bekerja seadanya. Satu anaknya yang perempuan menjadi pembatu rumah tangga di kota besar. Dua anaknya yang laki-laki tetap tinggal di desa dengan bekerja seadanya atau srabutan. Kadang jadi buruh bangunan, kadang membantu warga desa sebagai buruh tani. Satu anak bersama temannya membuka usaha tambal ban dengan modal pinjaman dari warga desa yang bermurah hati memberi pinjaman uang dan tempat.
Anak perempuan yang bekerja di kota besar mendapat penghasilan yang cukup sehingga dapat menabung. Urusan makan dan kebutuhan sehari-hari sudah ditanggung majikannya. Gajinya yang sebatas ‘UMP’ (upah minimum propinsi) diterima utuh dan ditabung. Sewaktu pak Sumo masih hidup, sebagian gaji itu dikirim ke orang tuanya. Bagi keluarga pak Sumo kiriman ini sangat membantu meskipun tidak juga mencukupi. Kedua anak lelakinya masih tinggal di rumah pak Sumo sehingga hidupnya masih menjadi tanggungan pak Sumo.
Waktu terus berjalan dan anak-anak pak Sumo harus memenuhi panggilan alam setelah menemukan jodoh masing-masing. Mereka menikah. Si anak perempuan menemukan jodohnya di kota besar. Lelaki yang menjadi jodohnya bekerja sebagai Satpam di sebuah pusat perbelanjaan (mall) besar. Setelah menikah keduanya tetap bekerja sehingga pendapatan mereka cukup untuk biaya hidup di kota besar. Beruntung mereka masih dapat tinggal di rumah orang tua si suami yang tinggal berdua.
Selama pak Sumo dan bu Sumo masih hidup, anak perempuan dan suaminya setiap tahun datang ke pedesaan mengunjungi orang tuanya. Tentu ada saja yang dibawa sebagai oleh-oleh. Waktu pulangpun ada tinggalan uang dengan jumlah seadanya. Pekerjaan sebagai pembatu rumah tangga sudah ditinggalkan. Dengan tabungan selama ini mereka membuka warung makan dan ternyata cukup laris. Pendapatan si isteri yang buka warung dan si suami sebagai Satpam melebihi kebutuhan biaya hidup sehari-hari sehingga mereka dapat menabung untuk masa depan mereka dan anak-anaknya.
Dua anak lelaki pak Sumo tidak beranjak dari desanya. Pernah juga mereka mencoba merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tetapi gagal karena pendapatan yang diperoleh tidak mencukupi untuk hidup. Selain itu mereka juga tidak tahan dengan tekanan hidup di kalangan bawah Jakarta. Ada godaan melakukan tindak kriminal dari para preman, kebutuhan biaya tempat tinggal yang terus menerus dinaikkan, serta pendapatan tidak tetap sehari-harinya sehingga sering harus menanggung lapar.
Mereka juga pernah merantau ke Kalimantan untuk bekerja di kebun kelapa sawit. Kontrak dengan perusahaan kelapa sawit hanya untuk waktu selama lima bulan, yaitu waktu memetik buah kelapa sawit. Setelah itu mereka harus kembali ke desanya. Gajinya cukup baik tetapi mereka harus bekerja keras dan waktu kerja yang panjang. Meskipun mereka ini anak desa tetapi tidak biasa bekerja keras karena tidak terlatih sebagai petani sejak kecil. Karena sering menganggur, etos kerja serta sikap mereka terhadap pekerjaan juga tidak mendukung untuk bertahan pada satu pekerjaan dalam waktu lama.
Anak-anak pak Sumo yang bekerja seadanya tentu miskin. Setelah berkeluarga, anak-anak pak Sumo tetap miskin. Anak-anaknya (cucu pak Sumo) juga tidak dapat lanjut bersekolah karena tidak ada biaya. Mereka hanya tamat SMP, menganggur atau bekerja seadanya. Sejarah pak Sumo terulang kembali dan proses kemiskinan terus berlanjut.