Di hadapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin lalu 13 mei 2013 , Kepala Desa Klodran, Colomadu, Karanganyar yang terdakwa korupsi tidak ngotot membela diri, tetapi malah membacakan pleidoi enam halaman yang diberinya judul ”Pengakuan Seorang Koruptor”. Katanya, ”Dengan alasan apa pun, saya adalah koruptor yang telah merugikan negara, masyarakat, keluarga, dan diri saya sendiri, sehingga tidak pantas untuk membela diri…”
Ia dituduh menyimpangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Klodran Rp 285,9 juta selama 2007 – 2009. ”Pelajaran kedua”, ia menyatakan bertanggung jawab sebagai pelaku tunggal, sebab meskipun ada anak buahnya yang terlibat, tanggung jawab formal organisatoris tetap ada pada pimpinan. ”Pelajaran ketiga”, ia meminta majelis hakim menghukumnya seberat mungkin. Walaupun hukum positif telah impas, namun sampai mati kesalahan kepada rakyat Klodran itu akan tetap melekat padanya.
Koruptor tetaplah koruptor, namun Endah Rahmanto termasuk ”koruptor langka”. Dengan angka yang ”hanya” Rp 285,9 juta — jika dibandingkan dengan ratusan miliar yang biasa dijadikan bancakan para penggogos uang rakyat — ia seolah-olah menohok para koruptor kakap bahwa tidak ada alasan apa pun untuk membela diri. Bukankah ada fenomena: membangun opini seolah-olah menjadi korban kepentingan politik, korban tebang pilih, menyalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan tampil membela diri bagai selebriti?
Kesadaran bahwa perbuatannya telah merugikan negara, masyarakat, keluarga, dan diri sendiri, menjadi pengakuan kunci bagi Endah Rahmanto yang juga seolah-olah mendekonstruksi kebiasaan para koruptor kakap yang tak pernah mau mengaku bersalah. Cara menyikapi jerat hukum dan model-model pembelaan, seperti dalam kasus suap cek pelawat yang melibatkan puluhan anggota DPR periode 2004-2009 menunjukkan mereka tidak merasa sebagai ”kesalahan sendiri” melainkan karena ”permainan tertentu”.
Sang Kepala Desa Klodran itu juga bukan orang yang punya kekuatan politik dan akses sekuat Gayus Tambunan, yang dengan modal itu bisa berlenggang kangkung ke mana-mana di tengah masa penahanannya, juga bisa mengatur sekehendak hati para aparat hukum. Kata kuncinya, Endah Rahmanto merasa hukuman seberat pun yang akan diterimanya tidak akan menghapus perasaan bersalah sampai mati, sehingga ia tidak berupaya membangun justifikasi lain kecuali bahwa dia memang tak pantas membela diri.
Persidangan di Peradilan Tipikor Semarang itu kiranya memberi pelajaran mengenai nuansa penampilan berbeda seorang koruptor. Memang sikap seluruh elemen bangsa dalam perang melawan korupsi harus dikeraskan: bahwa tidak ada koruptor yang berhak menjustifikasi perbuatannya. Setidak-tidaknya sikap Endah Rahmanto itu membuat malu — itu pun kalau masih punya malu — mereka yang besaran jarahannya berlipat-lipat tetapi dengan berbelit-belit dan menyalahkan orang lain mencoba lari dari tanggung jawab.