Jam mengajar dari 24 jam tatap muka menjadi 27,5 jam per minggu di pertanyakan guru

Usulan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menambah jam mengajar tatap muka guru dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu meresahkan para guru. Ini disebabkan guru sulit memenuhi kewajiban tersebut. Hanya sekitar 30 persen guru yang bisa memenuhi kewajiban itu, yakni guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika yang jadwal pelajarannya sekitar 24 jam per minggu. Sementara itu, guru mata pelajaran Kesenian, Olahraga, atau Agama tidak mungkin memenuhi kewajiban tatap muka 27,5 jam per minggu. ”Bukannya guru tidak mau, tetapi memang tidak bisa dengan sistem pelajaran yang sekarang. Jadi, kesalahannya bukan pada guru,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, Minggu (25/9/2011). Ia menyesalkan munculnya usulan itu karena hanya akan meresahkan para guru. Ia memperkirakan, dari sekitar 2,7 juta guru di Indonesia, hanya sekitar 30 persen yang bisa memenuhi kewajiban itu. Dari sisi aturan pun sebenarnya usulan penambahan jam mengajar guru itu melanggar Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen. Ini disebabkan di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa jam wajib mengajar guru adalah 24 jam per minggu. Dikaji ulang Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional Syawal Gultom juga meminta agar ketentuan jam mengajar guru itu dikaji ulang. Ketentuan 24 jam per minggu saja sudah sangat sulit karena ketentuannya guru harus tatap muka di ruang kelas. Selain jam mengajar selama 24 jam per minggu, guru juga dituntut melakukan penelitian tindakan di ruang kelas serta merancang dan mengevaluasi proses pembelajaran. Syawal menilai, seharusnya proses sebelum dan setelah mengajar di ruang kelas itu juga dimasukkan dalam ketentuan 24 jam mengajar itu. ”Mulai dari persiapan materi hingga evaluasi hasil belajar seharusnya bisa. Namun, yang ada di dalam undang-undang itu betul-betul harus 100 persen mengajar di depan kelas,” ujarnya. Menurut Sulistiyo, guru seharusnya tidak dibebani persoalan administrasi dan harus memperoleh perlakuan khusus untuk mengembangkan profesinya. Guru juga tidak bisa diperlakukan sama dengan dosen di perguruan tinggi. Apalagi, mengingat sebagian besar guru belum bergelar S-1. Data Kemdiknas menunjukkan, terdapat 1,5 juta guru (55,19 persen) yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-4, dan sebagian besar di antaranya adalah guru sekolah dasar. (LUK). (KOMPAS.com)